“merupakan sari materi Bab 5 From Social Justice to
Ethics of Care dari buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary
Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility”
oleh
Mick Smith dan Rosaleen Duffy, tahun 2003”
I. PENDAHULUAN
Teori-teori keadilan sosial muncul
ketika ketidakadilan berkembang di negara-negara barat sebagai dampak buruk
dari imperialisme. Pariwisata kemudian menjadi salah satu solusi bagi
keterpurukan ekonomi sehingga negara-negara tersebut dapat kembali hidup layak
dan melakukan pembangunan negaranya (Kaplan, 1996 dalam Smith dan Duffy, 2003:
91).
Tulisan
ini merupakan tinjauan terhadap bab 5 dari buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure,
Tourism, and Mobility” yang berjudul From
Social Justice to Ethics of Care, ditulis oleh Mick Smith dan Rosaleen
Duffy. Bab tersebut membahas tentang pergeseran etika sosial, dari mulai
berkembangnya ‘paham’ keadilan sosial sampai munculnya etika kepedulian.
Pembahasan
terhadap hasil tinjauan akan dibagi menjadi empat bagian, sesuai dengan isi bab
dalam buku, yaitu tentang keadilan sosial, yang membahas perkembangan pandangan
terhadap keadilan sosial dan teori-teori yang berkembang mengikutinya serta
kritik terhadap teori yang ada; tentang etika komunikatif, selain membahas
tentang definisi, juga tentang siapa yang terlibat, serta kritik terhadap
pandangan etika komunikatif; tentang paham feminist
dan etika kepedulian yang membahas latar belakang munculnya feminist, dukungan yang diberikan, serta
perbedaan antara etika kepedulian dan keadilan sosial; terakhir adalah tentang
etika perbedaan yang akan membahas latar belakang munculnya etika perbedaan dan
definisinya. ‘Kepedulian’ dan ‘perbedaan’ merupakan dua hal cenderung
mendominasi teori etika modern.
II. KEADILAN SOSIAL
Pencetus
teori keadilan/Theory of Justice, John Rawls (1973 dalam Smith dan Duffy,
2003: 91), mengemukakan bahwa keadilan
merupakan kebaikan yang utama dari institusi sosial, sedangkan kebenaran lebih
berupa sistem pemikiran. Lebih jauh lagi, Rawls mengatakan bahwa setiap orang
memiliki pendirian tentang keadilan yang tidak dapat diganggu gugat oleh apa
pun, termasuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Hak-hak yang dijamin oleh
keadilan tidak akan terpengaruh oleh kekuatan politik maupun pertimbangan-pertimbangan
kepentingan sosial. Rawls juga menegaskan bahwa ‘keadilan’ dan ‘kebenaran’
tidak bisa dikompromikan.
Aristotle (1986 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) mendefinisikan keadilan
sebagai kebaikan yang lengkap dan utuh karena merupakan kunci dalam mempertahankan
keseimbangan sosial yang harmonis antara masyarakat. Aristotle mengemukakan
bahwa keadilan adalah kumpulan dari seluruh kebaikan.
Aristotle
maupun Rawls berpendapat bahwa kurangnya keadilan akan mengancam kesejahteraan
dan kebahagiaan masyarakat. Rawls juga mendukung ide Aristotle tentang ‘justice as fairness’. Orang-orang
merasakan ketidakadilan ketika mereka tidak diperlakukan secara fair, sama rata, dan sudah dieksploitasi
untuk menghasilkan manfaat bagi kelompok-kelompok istimewa tertentu.
Ketidakadilan seringkali didefinisikan sebagai ketidakcukupan, ketidaksamaan,
dan atau ketidakmerataan. Pada akhirnya, keadilan dipandang sebagai distribusi
yang fair dari kekuasaan, barang, dan lain-lain di dan antara masyarakat.
A. Jenis Keadilan
Berdasarkan paham-paham yang
dikebangkannya, Aristotle (1986 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) membedakan
keadilan menjadi dua, yaitu
·
Keadilan
distributif, yaitu setiap orang mendapatkan bagian dari barang sosial yang
didistribusikan.
·
Keadilan
retributif, yaitu memberikan seseorang hukuman/penghargaan yang pantas sesuai
dengan tindakan yang telah dilakukannya.
Pengembangan
kepariwisataan saat ini lebih fokus pada ‘keadilan distributif’ dan hubunganya
dengan kelembagaan sosial. Perdebatan yang kemudian berkembang untuk keadilan
distributif adalah ‘apa ukuran bagi distribusi
yang fair?’ Sementara itu, untuk
keadilan retributif, perdebatannya adalah pada ukuran penghargaan/hukuman yang
harus diterima oleh semua pihak yang terlibat.
B. Berbagai Pandangan tentang Keadilan
Sosial
Penulis buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and
Mobility”, Smith dan Duffy (2003), mengemukakan perkembangan berbagai
pandangan tentang keadilan sosial. Pandangan tentang keadilan sosial yang
berkembang sebagai awal respon dari teori dan paham keadilan Rawls dan
Aristotle adalah pandangan bahwa keadilan adalah proporsional antara
kontribusi, kebutuhan, dan distribusi beban/manfaat. Pandangan berikutnya yang muncul sebagai
respon dari pandangan pertama adalah pandangan bahwa keadilan merupakan
proporsionalitas antara kemampuan dan kebutuhan dengan distribusi
beban/manfaat. Pandangan berikutnya merupakan pandangan tentang keadilan yang
menghilangkan unsur-unsur identitas diri agar secara objektif dapat diterima
oleh seluruh pihak.
-
Keadilan: proporsional antara
kontribusi dan/atau kebutuhan dengan distribusi beban/manfaat yang diterima
Pandangan pertama tentang keadilan
memandang keadilan sebagai distribusi yang proporsional antara kontribusi
dan/atau kebutuhan dengan beban/manfaat yang diterima. Seseorang yang
memberikan kontribusi yang besar, berhak mendapatkan manfaat yang sama besarnya
dengan kontribusi yang diberikan. Pandangan ini juga menganggap bahwa seseorang
berhak mendapatkan lebih karena kebutuhannya lebih tinggi dan mendesak.
Pandangan
ini menganggap bahwa egalitarian, yaitu para penganut semua harus mendapatkan
porsi yang sama, jauh dari rasa keadilan. Walaupun demikian, prinsip-prinsip equality/kesamarataan tidak berarti salah
secara prinsip. Perdebatan yang kemudian muncul adalah apakah manfaat lebih
yang diterima dapat dibenarkan atau tidak. Subjektivitas sangat kental pada
pandangan ini, diterima atau tidaknya keadilan sangat dipengaruhi oleh
identitas dirinya (sejarah, karakteristik demografis, dan latar belakang sosial).
Hasil penelitian World Health
Organization (1999 dalam Smith dan Duffy, 2003: 94) menyimpulkan bahwa
perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat dapat diterima jika didasarkan
pada perbedaan yang relevan secara moral antara individu. Distribusi beban dan
manfaat yang sama rata tidak menjadi persoalan ketika subjek-subjek yang
dimaksud tidak melibatkan individu atau masyarakat yang ‘rentan’.
Dalam
diagram batang, dua kemungkinan distribusi beban/manfaat yang telah dijelaskan
di atas dapat dilhat pada gambar berikut.
Sumber: dimodifikasi dari Smith dan Duffy, 2003: 93
Gambar 1. Dua
kemungkinan distribusi barang-barang sosial, distribusi yang tidak sama rata
banyak menimbulkan perdebatan siapa berhak mendapatkan berapa
-
Keadilan: proporsional antara kemampuan
dan kebutuhan
Pandangan ini muncul sebagai respon
dari kemungkinan terjadinya ketidakmerataan yang berlebihan pada pandangan yang
pertama tentang keadilan. Keadilan dipandang sebagai hubungan yang proporsional
antara kemampuan yang dimiliki dan kebutuhan masing-masing. Jadi, jika pada
pandangan pertama beban/manfaat yang didistribusikan disesuaikan dengan
kontribusi yang diberikan, maka pada pandangan kedua ini, beban didistribusikan
sesuai dengan kemampuan pihak-pihak yang terlibat, dan manfaat didistribusikan
sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat. Pandangan ini mencoba membatasi gap antara kaya dan miskin, orang yang
berkuasa dan tidak berkuasa.
Pandangan kedua tentang keadilan ini
dianut oleh kaum komunis dengan tokohnya adalah Karl Marx (1974 dalam Smith dan
Duffy, 2003: 94). Slogan yang sangat terkenal dari kaum komunis ini adalah “from
each according to his abilities, to each according to his needs”. Menurut Marx, pemerataan distributif yang
sederhana saja tidak cukup, kemampuan dan kebutuhan harus dipertemukan agar
setiap orang mendapatkan manfaat yang sesuai.
-
Keadilan: dapat terjadi ketika
posisi aktual individu dalam masyarakat yang kontemporer diabaikan
Teori-teori keadilan setuju bahwa
ketidakmerataan diperlukan dan dapat dipertahankan dalam lingkungan masyarakat
yang fair. Rawls kemudian
mempertanyakan prinsip-prinsip apa yang mendasari pembagian hak dan kewajiban
serta distribusi dari beban dan manfaat dalam suatu ‘kontrak’ yang, setidaknya
dalam teori, setiap orang akan dengan senang hati menyetujuinya.
Rawls mencoba mengajukan eksperimen
pemikiran untuk menemukan prinsip-prinsip yang dimaksud. Eksperimen ini harus
dilakukan pada tingkat keadilan yang abstrak karena jika tidak, akan kembali
lagi pada keadilan distributif, yang sangat sulit diterima atau banyak menimbulkan
ketidaksetujuan yang sangat kuat di kalangan masyarakat. Ketidaksetujuan ini
muncul karena pandangan orang dibiaskan oleh posisi aktualnya pada masyarakat
kontemporer. Rawls mengajukan contoh bahwa seorang jutawan yang bergerak dalam
bisnis sex tourism sangat wajar jika
memiliki perspektif terhadap distribusi pendapatan yang berbeda dengan para pekerja
seks komersial (PSK) yang terpaksa bekerja di industri yang sama karena
kemiskinan.
Eksperimen Rawls mengajak orang
untuk membayangkan bahwa individu-individu yang membahas konstitusi dari
lingkungan masyarakat yang adil, benar-benar dilepaskan dari kehidupan nyatanya
sehari-hari. Diskusi akan terjadi dalam ‘veil
of ignorance’, individu dibentengi dari pengetahuan tentang keberadaan
sebelumnya dan ketidakmerataan dalam posisi sosial mereka. Mereka kemudian
menempati ‘original position’ dari
kesamarataan sehingga dicapai situasi hipotetis yang murni, yaitu tidak ada
orang yang mengetahui tempatnya dalam masyarakat, posisi kelasnya atau status
sosialnya, kekayaannya dalam distribusi asset alam, kemampuannya,
kecerdasannya, kekuatannya, dan kegemarannya (Rawls, 1973 dalam Smith dan
Duffy, 2003: 95). Jadi, pada skenario imajinasi ini, para pengusaha di sex tourism tidak mengetahui apa pun
tentang kekayaannya, para PSK tidak mengetahui apa pun tentang perannya dalam
bisnis sex tourism. Mereka berpijak
pada posisi yang sama, menjadi orang yang rasional, yang menginginkan jaminan
dasar terhadap kebebasan.
Rawls mengatakan hanya dengan cara
seperti ini mereka dapat menjamin bahwa ada jaring pengaman minimal yang
melindungi mereka dari posisi yang tidak menguntungkan ketika memasuki suatu
lingkungan masyarakat. Pada kondisi seperti ini, ketidakmerataan akan lebih
mudah diterima, terutama ketika ketidakmerataan harus ada untuk memperoleh
manfaat bersama. Misalnya, dalam masyarakat egalitarian, tidak ada insentif
bagi seseorang untuk bekerja keras atau berinovasi selama manfaat dari kerja
kerasnya tidak bertambah secara langsung kepada individu yang bersangkutan.
Dengan demikian, distribusi manfaat yang berbeda kepada individu dapat menjadi
insentif yang pada akhirnya akan meningkatkan besarnya manfaat keseluruhan yang
dihasilkan untuk semua.
Berdasarkan eksperimen pemikirannya,
Rawls menemukan dua prinsip keadilan, yaitu:
1.
Setiap
orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar paling luas, sama dengan kebebasan
bagi orang lain.
2. Ketidakmerataan sosial dan ekonomi
diatur sehingga menjadi harapan yang beralasan bagi keuntungan yang diperoleh
setiap orang, serta terkait pada posisi dan peran yang terbuka untuk semua.
Dengan prinsip-prinsip tersebut,
ketidakmerataan menjadi lebih dapat diterima oleh semua orang, walaupun tidak
dapat diberlakukan secara universal.
Sumber: dimodifikasi dari Smith dan Duffy, 2003: 97
Gambar 2. Rawls
menganggap distribusi yang tidak merata dapat lebih diterima pada posisi
ini karena semua pada akhirnya
mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan pada saat distribusi dilakukan
secara merata
Pandangan
Rawls yang terakhir tentang keadilan ini menimbulkan kritik dari komunitarian
Michael Sandel (1992 dalam Smith dan Duffy, 2003: 98-99). Kritik Sandel
terhadap eksperimen pemikiran Rawls adalah:
• Menganggap pemikiran Rawls yang
disebutnya ‘unencumbered self’
sebagai sesuatu yang tidak tepat karena justru nilai-nilai yang dianut
individu, perbedaan budaya, dan hubungan sosiallah yang membuat individu dapat
dikenali di lingkungan tertentu. ‘Veil of ignorance’-nya Rawls hanya
dapat berlaku jika tidak ada perbedaan yang signifikan antara individu-individu
yang terlibat dalam konstitusi, karakteristik individunya cenderung homogen.
• Tidak realistis memisahkan
unsur/karakteristik seseorang dengan posisi originalnya dalam masyarakat karena
hal tersebut merupakan komponen utama dari diri seseorang.
• Nilai-nilai etika adalah bagian
utama dari pemahaman diri dan individualitas.
• Nilai etika bukan sekedar preferensi
seseorang, tetapi diperoleh dari hubungan sejarah dan sosial dengan orang lain,
atau dengan kata lain diarahkan secara komunal.
• Nilai etika, individu, dan
masyarakat merupakan komponen-komponen yang terkait dan tidak dapat dipisahkan.
C. Isu-isu Keadilan Sosial dalam
Pariwisata
Perkembangan pariwisata sangat
rentan terhadap isu-isu keadilan sosial. Selain karena banyaknya pihak yang
terlibat dengan tingkat kepentingan dan jenis kebutuhan yang berbeda, isu-isu
keadilan sosial dalam pengembangan kepariwisataan juga muncul karena pengaruh
faktor-faktor eksternal, seperti ekonomi, politik, keamanan, dan budaya. Isu-isu
keadilan sosial yang dibahas dalam bab 5 buku “The Ethics of Tourism Development: Contemporary Geographies of Leisure,
Tourism, and Mobility” adalah:
·
Perkembangan
sex tourism di Asia Tenggara yang
seringkali dikaitkan dengan moralitas prostitusi dari para pekerja seks
komersial. Hall (1997 dalam Smith dan Duffy, 2003: 92) melihatnya dari sudut
pandang yang berbeda. Hall melihat persoalan kunci dari etika yang berkembang
pada sex tourism di Asia Tenggara
adalah permasalahan gender dan
ketidakmerataan ekonomi. Hall memandang terdapat keterkaitan antara paham
patrialistik (laki-laki lebih kuat) dengan eksploitasi terhadap kaum perempuan
di Asia Tenggara. Selain itu, ketidakmerataan ekonomi juga menjadi menyebab
munculnya sex tourism yang sebagian
besar pekerjanya berasal dari daerah-daerah dengan kondisi perekonomian yang
buruk. Keadilan distributif yang proporsional antara manfaat dan kebutuhan
seharusnya diterapkan untuk mengurangi perkembangan sex tourism di Asia
Tenggara.
·
Pemberlakuan
tarif masuk berlapis ke taman-taman nasional di Zimbabwe (Smith dan Duffy,
2003: 94). Tarif paling murah diberlakukan bagi masyarakat setempat/wisatawan
lokal, tarif bagi wisatawan regional lebih tinggi dibandingkan tarif bagi
wisatawan lokal, dan tarif tertinggi dikenakan bagi wisatawan internasional.
Bagi wisatawan, hal ini dianggap tidak adil karena pengalaman yang diperoleh
seluruh wisatawan adalah sama. Alasan yang dijadikan dasar pertimbangan
Pemerintah Zimbabwe adalah pemahaman mengenai prinsip-prinsip keadilan yang dikembangkan
oleh Karl Marx, yaitu pembagian beban disesuaikan dengan kemampuan kelompok
individu tertentu. Masyarakat setempat dengan kondisi perekonomian yang buruk
memiliki kemampuan finansial yang rendah terutama untuk membiayai pemenuhan
kebutuhan berwisatanya. Masyarakat dari wilayah lain dianggap lebih mampu
karena memiliki alokasi dana untuk berwisata ke tempat yang jauh dari tempat
tinggalnya, apalagi wisatawan internasional. Pemberlakukan tarif berlapis
dilakukan agar masyarakat setempat mendapatkan peluang yang sama untuk
mengonsumsi sumber daya pariwisata yang terletak di wilayahnya.
·
Tenaga
kerja ilegal pariwisata dari Guatemala yang bekerja di Belize. Para
tenaga kerja migran ini pindah
dari Guatemala yang kondisi ekonomi dan politiknya sedang kacau. Tetapi, di
Belize mereka dibayar dengan sangat rendah dan hidup dalam kondisi yang buruk.
Perdebatan yang kemudian muncul adalah mana yang lebih adil, membiarkan mereka
hidup di negaranya dengan tekanan politik dan ekonomi yang membuat para migran
ini hidup tertekan dan menderita atau hidup dengan kondisi ekonomi terbawah di
Belize (Smith dan Duffy, 2003: 95).
·
Para
pekerja di Afrika Selatan yang terkesan malas, santai, dan tidak ramah dianggap
sebagai persoalan etika bagi para wisatawan. Wisatawan menganggap bahwa
ketertinggalan pembangunan di Afrika Selatan disebabkan karena budaya malas dan
santai dari masyarakatnya. Patullo (1996 dalam Smith dan Duffy, 2003: 95)
memandangnya dari sudut pandang kesenjangan budaya utara selatan. Orang-orang
utara (Afrika Utara) merupakan para ‘tuan’, sedangkan orang-orang selatan
merupakan budak. Fenomena ini memunculkan prioritasi pembangunan yang berbeda
antara utara dan selatan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakmerataan
ekonomi, kesehatan, pendidikan, yang berakibat pada rendahnya kualitas
pelayanan pariwisata.
III. ETIKA KOMUNIKASI
Etika komunikasi muncul sebagai
respon dari eksperimen pemikiran Rawls yang melibatkan komunikasi dalam
pembahasan dan penyepakatan keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. Ide
ini muncul dari ahli sosial Jerman, Jürgen Habermas, yang juga tidak sepakat
dengan ‘original position’ dan ‘unencumbered self’ yang digunakan Rawls
untuk mengembangkan teori keadilannya, tetapi menganggap Rawls sudah melakukan
hal yang benar dalam merumuskan keadilan sebagai sesuatu yang muncul dari suatu
perbincangan/diskusi antara pihak-pihak yang berkepentingan. Habermas
berpendapat terdapat sesuatu yang instrinsik dalam tindakan komunikasi yang
dilakukan, untuk terlibat dalam perbincangan rasional dengan yang lain yang
mengasumsikan terjadinya timbal-balik antara pembicara. Menurut Habermas,
komunikasi yang sebenarnya terjadi ketika:
•
Kita
dapat mendengarkan dan mempertimbangkan ide orang lain.
•
Bersedia
mengembangkan ide sehingga orang lain dapat mengkritisi ide kita dari
perspektif masing-masing.
•
Memberikan
penjelasan atas posisi pembicara hanya jika diminta.
•
Tujuan
perbincangan yang sebenarnya adalah mencapai kesepakatan dan konsensus yang
sebenarnya (Mc.Carthy, 1984 dalam Smith dan Duffy, 2003: 102)
Tiga aspek penting dalam komunikasi
manusia yang berlaku universal, di seluruh budaya masyarakat, adalah
pembicaraan yang timbal-balik, saling menghargai, dan menemukan resolusi.
Habermas mengemukakan ada beberapa
hal yang menjadi penting dalam mengembangkan pembicaraan/komunikasi yang
rasional, seperti yang dilakukan Rawls untuk merumuskan teori keadilan, yaitu
membangun ‘ideal speech situation’. ‘Ideal
speech situation’
•
Menghargai
posisi orang lain dengan memberikannya ruang untuk menjelaskan kepercayaan dan
nilai-nilai yang dianutnya.
•
Bersedia
mengubah perspektif dirinya sehingga hasil dari diskusi yang dilakukan
tergantung dari kekuatan argumentatif dari beragam posisi individu yang
terlibat. Argumentasi yang terbaik yang akan menjadi keluaran yang disepakati
bersama.
•
Faktor-faktor
eksternal harus diabaikan, seperti kekuasaan dan kewibawaan pembicara tertentu
yang dapat mempengaruhi dan membuat pihak lain tertekan.
Keunggulan ‘ideal speech situation’ Habermas dibandingkan ‘original position’ Rawls:
•
Orang-orang
yang terlibat bukan ‘unencumbered self’
(pribadi yang mengabaikan dirinya), tetapi ‘the
real people’ (orang dengan semua nilai yang utuh dan pengetahuan yang penuh
tentang peran dan hubungan sosialnya).
•
Tidak
ada kesamarataan yang dibuat-buat, tidak perlu upaya dari setiap orang untuk
mengidentikkan situasi di luar kehidupan sehari-harinya.
•
Ide
keberpihakan/impartiality didasarkan
pada argumentasi mereka sendiri, tidak perlu dibawa dari luar.
•
Dapat
diaplikasikan secara universal.
Salah satu pendukung ‘ideal speech situation’ Habermas adalah
Dryzek (1999 dalam Smith dan Duffy, 2003: 103-104). Dryzek mengatakan
pendekatan Habermas dapat digunakan untuk melegitimasi kesimpulan yang muncul
dari pertemuan antara masyarakat, organisasi nonpemerintah, aktivis. Lebih jauh
lagi, Dryzek mengemukakan bahwa legitimasi demokratis didapat bukan dari
pengambilan suara/voting atau
representasi dari orang/kepentingan, tetapi dari musyawarah untuk mufakat
Disamping keunggulan, ‘ideal speech situation’ memiliki
beberapa kelemahan, yaitu:
•
Membutuhkan
waktu yang banyak/lama untuk mencapai kemufakatan dengan melibatkan banyak
pihak dengan banyak kepentingan.
•
Tidak
cocok dengan persyaratan bisnis, persyaratan pemerintah kontemporer, atau
kelembagaan internasional.
•
Menimbulkan
perdebatan tentang siapa saja yang harus dilibatkan dalam perbincangan/diskusi
yang dilakukan dan apakah setiap orang mendapatkan hak suara yang sama.
•
Belum
tentu semua pihak dapat berkontribusi dengan sungguh-sungguh dalam diskusi.
Kritik
terhadap ‘ideal speech situation’ muncul
dari Benhabib 1990 dalam Smith dan Duffy, 2003: 105) dan Steven Vogel (1996
dalam Smith dan Duffy, 2003: 105). Kritik mereka terhadap Habermas adalah:
1.
Persetujuan
tidak pernah dapat dijadikan kriteria untuk apa pun, baik kebenaran ataupun
validitas moral. Kenyataan bahwa suatu kelompok pada akhirnya mencapai
kesepakatan yang berbeda dengan pendapatnya tidak menunjukkan bahwa kompromi
secara etika lebih unggul terhadap posisi original pembicara. Hal ini menunjukkan
kemungkinan bahwa posisi original pembicara mempengaruhi kompromi yang dicapai.
Benhabib memandang bahwa konsensus hanyalah sebuah hasil akhir, padahal yang
terpenting adalah proses dan tingkat kepentingan dari dialog yang dilakukan
(Benhabib).
2. Habermas dianggap membuat perbedaan
antara nilai etika dengan norma dan prosedur moral. Habermas dianggap
seolah-olah mengesampingkan pencapaian konsensus tentang nilai-nilai etika
sebenarnya yang sangat beragam. Etika komunikasi hanya dapat menyelesaikan
persoalan moral, yaitu norma dan peraturan yang mempengaruhi kehidupan manusia
(Vogel).
IV. FEMINISME DAN ETIKA KEPEDULIAN
Paham
feminisme dan etika kepedulian muncul dilatarbelakangi oleh konsep Habermas
tentang etika komunikasi yang merupakan proses debat dari individu-individu
yang rasional yang mengundang pertanyaan tentang ‘apa yang dianggap sebagai
alasan moral’ yang melandasi pemikiran rasional seseorang. Habermas meyakini
bahwa individu memperoleh ‘alasan moral’ terhadap nilai-nilai yang dianutnya
ketika dia sudah dewasa. Nilai moral seseorang muncul ketika ia dewasa,
dipengaruhi oleh norma-norma moral dari masyarakat di sekitarnya.
Pendapat
Habermas ini didasarkan pada teori psikologi yang dikeluarkan oleh Lawrence
Kohlberg (Habermas 1990, dalam Smith dan Duffy, 2003: 106-107). Kohlberg
mengatakan bahwa anak-anak memulai kehidupannya tanpa perhatian pada etika,
mereka tertarik hanya pemenuhan kebutuhan dirinya. Secara bertahap, mereka
mulai beradaptasi dengan norma-norma moral dalam masyarakat, yang pada awalnya
tanpa bercermin pada atau mengkritisi norma-norma tersebut. Pada saat mereka
mencapai kedewasaan moral, yang ditandai dengan mereka mulai dapat menerapkan
abstrak dari prinsip-prinsip moral, seperti kesamarataan, keadilan, dan
lain-lain, ke dalam kasus-kasus yang berbeda. Hal ini lah yang disebut ‘alasan
moral’.
Kohlberg
menganggap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik pencapaian yang
berbeda terhadap kedewasaan moral. Perempuan lebih sedikit kemungkinannya untuk
mencapai tahap tersebut, hanya sedikit dari mereka yang memiliki kemampuan
‘alasan moral’. Hal ini disebabkan perempuan lebih berpikir komplek terhadap
penilaian moral yang dibuatnya didasarkan pada pemahaman detilnya tentang
situasi dan konteks tertentu, termasuk hubungan personal. Laki-laki dianggap
lebih mudah mencapai tahap kedewasaan moral karena kaki-laki lebih berbicara
hal abstrak dari keadilan dan mereka lebih otonom, rasional, dan independen
(Chodorow, 1978 dalam Smith dan Duffy, 2003: 107).
Gilligan
tidak begitu sependapat dengan Kohlberg. Gilligan beranggapan bahwa keotonomian
dirilah yang banyak mendasari teori-teori etika modern, bukan gender maupun budaya. Giligan
berpendapat bahwa permasalahan moral muncul lebih karena konflik tanggung
jawab, bukan persaingan hak. Gilligan mengatakan bahwa alasan etika adalah
sebuah model berpikir yang kontekstual dan naratif dibandingkan formal dan
abstrak, didasarkan kepedulian pada hal-hal yang berlaku dalam kehidupan
sehari-hari yang membentuk hubungan etika yang berbeda, atau kemudian dikenal
sebagai etika kepedulian. Hal ini tidak berarti menunjukkan bahwa ‘etika
kepedulian’ ini lebih unggul dibandingkan ‘etika keadilan’. Menurut Gilligan,
etika kepedulian memiliki perbedaan dengan etika keadilan:
•
ETIKA
KEPEDULIAN terkait dengan keberpihakan (partiality)
•
ETIKA
KEADILAN terkait dengan ketidakberpihakan (impartiality)
Lebih jauh, Gilligan mengatakan
bahwa kedua pendekatan ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dan dapat
dikombinasikan untuk membentuk kondisi yang lebih harmonis, suatu nilai etika
yang baru, yaitu etika keadilan dan kepedulian, walaupun masih sangat sulit dan
belum ditemukan caranya untuk saat ini.
V. ETIKA PERBEDAAN
David M. Smith
mencoba melihat keterkaitan antara Etika kepedulian dan communitarianism. Smith menemukan beberapa persamaan berikut:
·
Etika
kepedulian dan communitarianism lebih
menekankan pada hubungan yang terbangun dibandingkan gagasan otonomi diri
·
Menerapkan
parsialitas/keberpihakan
·
Sangat
bergantung pada kedekatan terhadap perhatian orang-orang untuk membuat
moralitasnya bekerja
·
Mengkritisi
tradisi modern yang dominan dalam etika yang mencoba membumikan pertimbangan
moralitas didasarkan pada fitur yang dapat dibagi secara universal atau
fitur-fitur seperti kepentingan pribadi, rasionalitas, dan lain-lain.
Pendekatan-pendekatan
moralitas modern, seperti etika kepedulian dan communitarianism lebih menekankan pada identitas diri dibandingkan
etika-etika kebaikan yang terkait dengan posisi individu dalam lingkungan
sosial. Oleh karena itu, Smith mengatakan bahwa dua pendekatan ini mengacu ke
bentuk-bentuk pre-modern. Hal ini
merupakan suatu kesalahan karena sebenarnya etika kepedulian itu cenderung
lebih post-modern, seperti juga
‘etika perbedaan’, karena menekankan pada positifistik, teknokratik,
rasionalistik, menghilangkan hierarki antara budaya rendah dan tinggi.
Etika
perbedaan muncul ketika fokus pengembangan etika tidak lagi pada identitas
diri, tetapi pada perbedaan-perbedaan. Karakteristik dari etika perbedaan
adalah:
•
Terbangunnya
hubungan yang saling menghargai dan memprioritaskan kebutuhan yang lain.
•
Tidak
menganggap orang lain sebagai instrumen untuk mencapai keinginan.
•
Orang
lain memiliki peran dan fungsi yang spesifik yang harus dihargai.
•
Perbedaan
dijunjung tinggi karena menyadari keterbatasan yang dimiliki.
•
Etika
dianggap hubungan yang tidak berbatas.
•
Hal
yang dipertahankan adalah penghargaan antara sesama.
VI. KESIMPULAN
Perkembangan
etika dalam kehidupan bermasyarakat berawal dari tuntutan terpenuhinya rasa
keadilan dalam diri setiap individu. Perdebatan mengenai kondisi ‘adil’
berkembang sangat luas, dari mulai adil itu sebagai pembagian yang sama rata,
proporsional terhadap kontribusi, proporsional terhadap kebutuhan, sampai pada
mengabaikan unsur-unsur latar belakang pribadi agar dapat mencapai kesepakatan
terhadap keadilan.
Perkembangan
rasa keadilan sosial sampai pada munculnya etika kepedulian dan bahkan etika
perbedaan melalui fase perdebatan filosofis yang kaya akan sudut pandang
sosial. Etika komunikasi, etika kepedulian, etika perbedaan tidak harus dipilih
mana yang terbaik, tetapi harus diterapkan secara bijaksana pada kasus-kasus
spesifik yang sesuai. Pada perkembangan ke depan, ketiga pendekatan etika
tersebut secara ideal dapat dikombinasikan dengan harmonis untuk mencapai titik
kulminasi keadilan yang pada akhirnya dapat diterima oleh seluruh pihak dalam
lingkungan masyarakat sosial.
REFERENSI
UTAMA
Smith, Mick, dan Duffy,
Rosaleen. (2003). From Social Justice
to Ethics of Care The Ethics of Care. Dalam Tourism
Development: Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility. London:
Routledge. Halaman 91 – 112.