Rabu, 26 Januari 2011

PARIWISATA PERKOTAAN: Teori dan Konsep

oleh Yani Adriani

1.     PENDAHULUAN

Menurut Law (1996: 1), kota merupakan jenis destinasi pariwisata yang paling penting di dunia sejak tahun 1980-an. Sebagai fenomena kepariwisataan dunia, kota dipandang sebagai suatu proses kompleks yang terkait dengan budaya, gaya hidup, dan sekumpulan permintaan yang berbeda terhadap liburan dan perjalanan (Page, 1995: 1).
Kota merupakan destinasi dengan multimotivasi, tidak seperti resor-resor pada umumnya (Law, 1996: 3). Orang-orang datang ke suatu kota untuk berbagai tujuan: bisnis, kegiatan hiburan dan rekreasi, mengunjungi keluarga dan kerabat, atau urusan pribadi lainnya. Seringkali, mereka mengunjungi kota untuk lebih dari satu alasan. Orang yang pergi ke suatu kota untuk berbisnis, menyempatkan diri untuk mengunjungi museum atau galeri seni di kota yang dikunjunginya. Atau mereka yang dari luar negeri (wisatawan mancanegara) mengunjungi dan berwisata di kota tertentu sebagai pintu gerbang  untuk mengunjungi daerah lain di sekitarnya. Misalkan, wisatawan mengunjungi Kota Tarakan karena fungsinya sebagai gerbang masuk yang paling dekat dengan Pulau Derawan di Kabupaten Berau.
Pariwisata perkotaan memiliki karakteristik lain yang khas, berbeda dengan pariwisata pada umumnya yang daya tarik wisatawanya memang ditujukan hanya untuk mereka yang berwisata. Wisatawan perkotaan menggunakan fasilitas perkotaan yang juga digunakan oleh penduduk kota sebagai daya tarik wisatanya (Law, 1996: 4). Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bandung tidak hanya digunakan oleh penduduk sebagai fasilitas belanja, tetapi juga menjadi daya tarik utama wisatawan mengunjungi Bandung.
Dalam konteks restrukturisasi perekonomian global dan deindustrialisasi di beberapa kota di dunia, pariwisata dan pengembangan pariwisata berperan penting dalam memperbaiki perekonomian kota yang mulai menurun (Law, 2000). Pariwisata menjadi motivasi penting bagi revitalisasi kota pada masa itu. Dengan bangkitnya kembali kota-kota di dunia, masyarakat menjadi makmur, dan muncul kelompok menengah yang memacu peningkatan permintaan akan pariwisata dan rekreasi, baik domestik maupun antar negara.  Kota besar yang memiliki berbagai daya tarik berupa peninggalan sejarah atau berbagai proyek baru menjadi sasaran kunjungan masyarakat negara maju, di samping kunjungan ke kawasan wisata di lokasi khusus (pantai, pegunungan).

2.     SEJARAH PERKEMBANGAN PARIWISATA PERKOTAAN
Page (2003) mengemukakan bahwa pariwisata perkotaan tumbuh sebagai akibat globalisasi perekonomian pada akhir tahun 1970an. Globalisasi yang terjadi mengubah struktur perekonomian dunia, mengintegrasikan struktur perekonomian nasional ke dalam struktur perekonomian internasional dalam bentuk perdagangan, investasi asing, migrasi, dan teknologi. Hubungan antarnegara pada awal tahun 1980-an meningkat semakin interaktif, multipolar, dan memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pola organisasi ekonomi terdesentralisasi pada skala global sehingga otonomi kota-kota terhadap perekonomian menjadi menurun. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di perkotaan yang membangkitkan investasi di industri jasa yang sangat besar, khususnya yang terkait dengan konsumsi, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Kemudian, dominasi industri jasa ini lah menjadi ciri kota-kota pada saat ini (Page, 2003: 27).
Penanaman modal yang tinggi di industri jasa (Page, 2003: 27) serta upaya revitalisasi kota-kota pada masa post-industrialisasi (van der Berg, Van der Borg dan Van der Meer 1995: 5) ini memotivasi pemerintah kota-kota untuk mengembangkan pariwisata sebagai stimulus utama bagi perbaikan ekonomi lokal dan regional (Roche, 1992 dalam Page, 2003: 28). Pariwisata juga diharapkan dapat memacu perubahan-perubahan kondisi politik kota sehingga dapat membangkitkan kembali daya tarik lingkungan untuk investasi (Doorne, 1998 dalam Page, 2003: 28).
Pertumbuhan pariwisata perkotaan pada masa itu mengakibatkan berkembangnya tourism urbanisation, yaitu urbanisasi yang diakibatkan oleh perkembangan pariwisata, yang fenomenya dijelaskan oleh Mullins (1991 dalam Page, 2003: 39) sebagai berikut:
“...cities providing a great range of consumption opportunities, with the consumers being resort tourists, people who move into these centres to reside for a short time.....in order to consume some of the great range of goods and services on offer”.
Mullins (1991) juga mengatakan bahwa tourism urbanisation sebagai urbanisasi yang didasarkan pada penjualan dan konsumsi kesenangan/pleasure. Dalam perkembangannya, tourism urbanisation kemudian menumbuhkan bentuk-bentuk khusus dari pariwisata perkotaan.
3.     PARIWISATA PERKOTAAN DAN KOTA WISATA
3.1 Definisi
Dua definisi penting yang harus dipahami sebelum mendefinisikan pariwisata perkotaan adalah pemahaman terhadap istilah kota dan perkotaan. Oleh karena itu, selain definisi pariwisata perkotaan, pada bagian ini akan dijelaskan juga definisi kota dan perkotaan.
Kota dan Perkotaan
Kota merupakan tempat konsentrasi berbagai jenis pelayanan, baik itu komersial, keuangan, maupun industri. Kota juga merupakan pusat bisnis dan sekaligus tempat singgah karena fungsinya sebagai pintu masuk ke wilayah yang lebih luas.
Menurut Prof. Drs. R. Bintarto, seorang ahli sosiologi, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistic  (http://organisasi.ord/g diunduh 26 September 2010). Dalam pembangunan wilayah, kota didefinisikan sebagai kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri (id.wikipedia.org diunduh 26 September 2010).
Literatur-literatur mendefinisikan kota dalam dua istilah, yaitu city dan town. City didefinisikan sebagai permukiman perkotaan yang lebih besar dan permanen serta memiliki status administrasi, hukum, dan sejarah tertentu. Sementara itu, town didefinisikan memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan city. (wikipedia.org).
Sementara itu, kawasan perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Pedoman RDTR Kota). Page (1995) mengungkapkan bahwa kawasan perkotaan muncul sebagai akibat dari proses urbanisasi.
Mengacu pada definisi kawasan perkotaan di atas, maka ’perkotaan’ memiliki pengertian yang menunjukkan sifat kekotaan, yaitu yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, tetapi permukiman, pusat kegiatan ekonomi dan jasa.
Pariwisata Perkotaan
Tidak banyak ahli-ahli pariwisata yang mengungkapkan definisi dari pariwisata perkotaan. Klingner (2006: 1) mendefinisikan pariwisata perkotaan secara sederhana sebagai sekumpulan sumber daya atau kegiatan wisata yang berlokasi di kota dan menawarkannya kepada pengunjung dari tempat lain.
“a set of tourist resources or activities located in towns and cities and offered to visitors from elsewhere”.
Definisi lain dikemukakan oleh Inskeep (1991: 163) yang menekankan pada peran pariwisata dalam perkotaan sebagai berikut:
“urban tourism……..a very common form of  tourism takes place in large cities where tourism may be important but is not a primary activity of the urban area”.
tetapi juga menyebutkan adanya town resort yaitu:
“……….typically oriented to a specific attraction feature such as snow skiing, beach, lake, and marine recreation, spa facilities, mountain scenery, a desert climate, important archaelogical and historic site, and religions pilgrimage” (Inskeep, 1991: 162)
Mengacu pada definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, secara lebih luas pariwisata perkotaan dapat didefinisikan sebagai:
bentuk umum dari pariwisata yang memanfaatkan unsur-unsur perkotaan (bukan pertanian) dan segala hal yang terkait dengan aspek kehidupan kota (pusat pelayanan dan kegiatan ekonomi) sebagai daya tarik wisata.
Pariwisata perkotaan tidak selalu harus berada di wilayah kota atau pusat kota. Pariwisata perkotaan dapat berkembang di wilayah pesisir, misalnya, dengan mengembangkan hal-hal yang terkait perkotaan sebagai daya tarik wisatanya.
Berbeda dengan kota wisata. Kota wisata adalah kota yang memang dibangun untuk pariwisata dan wisatawan, mengandalkan pariwisata sebagai sektor utama penggerak perekonomian kota.
3.2 Arti kota bagi pariwisata
Kota memiliki arti yang penting bagi pariwisata. Page (1995: 9) mengatakan karena fungsi-fungsinya yang khas, kota mampu menarik kunjungan wisatawan. Karakteristik dari kota yang menarik bagi wisatawan adalah:
1.       Daerah perkotaan memiliki sifat yang heterogen, artinya bahwa kota memiliki ukuran (kota besar, kota kecil), lokasi (laut, pegunungan), fungsi (industri, jasa, perdagangan), wujud, dan warisan budaya yang berbeda dan beragam.
2.       Skala daerah perkotaan dan fungsi-fungsi berbeda yang secara terus-menerus dipertahankan mengakibatkan kota bersifat multifungsi (pusat pemerintahan juga pusat perdagangan, juga destinasi pariwisata utama).
3.       Fungsi-fungsi yang berkembang di kota diproduksi untuk dan dikonsumsi tidak hanya oleh wisatawan, tetapi juga oleh beragam pengguna. (Shaw dan Williams, 1994 dalam Page 1995:9)
3.3 Arti pariwisata bagi kota
Mengidentifikasi arti pariwisata bagi kota tidak semudah mengidentifikasi arti kota bagi pariwisata. Penggunaan fasilitas perkotaan bersama antara wisatawan dan penduduk membuat perhitungan tentang arti penting pariwisata bagi kota menjadi sulit untuk dilakukan. Walaupun demikian, beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi arti penting pariwisata bagi kota.
European Commission, Tourism Unit (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata menjadi landasan kebijakan pengembangan perkotaan yang mengkombinasikan sediaan/supply yang kompetitif sesuai dengan harapan pengunjung dengan kontribusi positif terhadap terhadap pembangunan kota dan kesejahteraan penduduknya.
Manente (2005) dan Page (2003) memperkuat pernyataan European Commission di atas dengan mengatakan bahwa:
1.       Pariwisata menempatkan dirinya pada struktur perekonomian yang kuat.
2.       Pariwisata mendorong pembangunan perkotaan dan transportasi daerah.
3.       Pariwisata dapat merevitalisasi perekonomian lokal.
4.       Pariwisata perkotaan dapat mempengaruhi moral lokal dan citra kota yang positif sehingga meningkatkan investasi dan produktivitas tenaga kerja lokal.
3.4 Tipologi pariwisata perkotaan
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan, akibat dari perkembangan tourism urbanization, Page (1995: 16) mengidentifikasikan tipologi bagi pariwisata perkotaan sebagai berikut:
1.       Ibu kota (Paris, London, New York, Jakarta, Bandung) dan kota budaya (Roma, Yogyakarta).
2.       Pusat metropolitan (Jakarta), kota sejarah (Rengasdengklok), dan kota-kota pertahanan.
3.       Kota-kota sejarah yang besar (Oxford, Cambridge, Venice, Jakarta)
4.       Daerah dalam kota (Manchester)
5.       Daerah waterfront yang direvitalisasi (London Dockland, Taman Impian Jaya Ancol)
6.       Kota-kota industri (Bradford, Bekasi, Karawang)
7.       Resor tepi laut (Pangandaran) dan resor olahraga musim dingin (Lillehamer)
8.       Kawasan wisata hiburan (Disneyland, Las Vegas, Taman Impian Jaya Ancol).
9.       Pusat pelayanan wisata khusus (destinasi ziarah, spa: Lourdes, Cirebon, Demak).
10.   Kota seni/budaya (Florence, kota-kota di Bali, Bandung).
Tipologi yang dikemukakan oleh Page memungkinkan suatu kawasan perkotaan memiliki dua tipologi pariwisata perkotaan. Misalnya Bandung, selain daya tariknya sebagai ibu kota provinsi, Bandung juga merupakan kota seni dan budaya.
Tipologi lain dikemukakan oleh Law (1996: 2-3) yang mengelompokkan pariwisata perkotaan ke dalam empat kategori, yaitu:
1.       Ibu kota: memiliki peran administratif dan bisnis yang dapat menarik wisatawan. Biasanya memiliki museum nasional, bangunan, dan monumen memiliki nilai sejarah nasional.
2.       Kota-kota industri: karakter dan citra industrial menjadi daya tarik bagi wisatawan.
3.       Kota dengan high-amenities: memiliki beragam fasilitas dari mulai pemandangan alam, hiburan, sampai bisnis yang dapat menarik wisatawan.
4.       Kota-kota daya tarik utama: kota yang fokus pada wisatawan dari luar daerah/negara, biasanya kota dengan multifungsi.
Tipologi yang dikemukakan oleh Law terlihat lebih sederhana dan jelas kategorisasinya.

4. KONSEP PARIWISATA PERKOTAAN
Konsep pariwisata perkotaan berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata perkotaan di seluruh dunia. Konsep pariwisata perkotaan yang saat ini berkembang di dunia sedikitnya ada enam konsep, yaitu tourist-historic city, cultural city, resort city, fantasy city, creative city, dan urban ecotourism.
4.1 Tourist-historic city (kota wisata sejarah)
Kota sejarah sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad ke-16 (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 9), sedangkan konsep kota sejarah sebagai sumber daya pariwisata berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata perkotaan (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 57).
Konsep kota wisata sejarah merupakan konsep pariwisata perkotaan yang menjadikan sejarah sebagai daya tarik wisatanya. Komponen-komponen dari kota wisata sejarah ini antara lain lingkungan dengan arsitektur sejarah dan morfologi perkotaan, even sejarah dan akumulasi artefak budaya, keberhasilan artistik yang merupakan bahan baku dari konsep ini (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 72).
Konsep pariwisata perkotaan ini harus memperhatikan upaya-upaya konservasi terhadap peninggalan sejarah di kota. Penentuan jenis kegiatan wisata sejarah dan segmen pasar wisatawan yang akan dituju harus disesuaikan dengan karakteristik dan sifat peninggalan sejarah yang dijadikan daya tarik wisata (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 72).
4.2 Cultural city (kota budaya)
Konsep kota budaya seringkali diidentikkan dengan kota sejarah atau kota heritage. Konsep kota budaya jauh lebih luas dibandingkan dengan kota sejarah atau heritage. Komponen-komponen kota yang menjadi daya tarik wisata utama bagi kota-kota budaya adalah: 1) museum dan wisata heritage, 2) distrik-distrik budaya (pecinan, kampong arab), 3) masyarakat etnis, 4) kawasan hiburan, 5) wisata ziarah, 6) trail sastra (Evans dalam Richards dan Wilson, 2007: 61).
Sama dengan konsep tourist-historic city, pengembangan konsep cultural city juga sarat dengan upaya konservasi asset budaya, tangible maupun intangible. Pada konsep kota budaya ini, wisatawan memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat budaya di kota.
4.3 Fantasy city (Page, 2003)
Konsep kota fantasi muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika (Page, 2003: 44) di Amerika. Konsep yang paling terkenal adalah Hannigan Fantasy City. Hannigan (1998 dalam Page, 2003: 44-45)) mengidentifkasi enam karakteristik Fantasy City:
1.       Fokus pada themocentricity, didasarkan pada tema yang ditentukan.
2.       The city is aggressively branded, tercermin dari strategi pemasaran dan produk-produknya.
3.       Day and night operation is a common feature, tidak seperti pusat perbelanjaan yang operasi waktu siangnya besar.
4.       Modularisation of products, di mana keberagaman komponen dirangkai untuk menghasilkan berbagai pengalaman yang lebih luas.
5.       Solipsisicity, dimana kota secara ekonomi, budaya, dan fisik terpisah dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya dalam suatu ‘kota ilusi’.
6.       Postmodernity, di mana kota dibangun dengan teknologi simulasi, realitas virtual, dan sensasi pertunjukan. Kota menarik sumber inspirasi utama dari model Disney, yang secara luas ditiru. Model Disney memunculkan konsep gambar-gambar bergerak dan taman hiburan ke dalam dunia fantasi menggunakan teknologi yang menciptakan kondisi hiperrealitas.
4.4 Creative city (new urban tourism) (Richard and Wilson, 2008),
Konsep kota kreatif mulai dikembangkan pada tahun 1990 di Inggris dan selalu dikaitkan dengan pariwisata budaya. Kota kreatif merupakan bentuk generasi baru dari pariwisata perkotaan. UNESCO telah menetapkan kota-kota kreatif di dunia pada tahun 2001. Kota kreatif ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu untuk masing-masing spectrum industri kreatif. Spektrum kota kreatif yang ditetapkan oleh UNESCO dan kota-kota kreatifnya dapat dilihat pada table di bawah ini.
SPEKTRUM
KOTA
Literature

§  Dublin
Crafts and Folk Art

§  Aswan
§  Icheon 
Film
Design

§  Berlin
§  Kobe
§  Nagoya
§  Seoul
§  Shanghai
Music

§  Bologna
§  Ghent
§  Glasgow
§  Seville
Media Arts
§  Lyon
Gastronomy
§  Popayan
§  Chengdu
§  Ă–stersund
Sumber: www.unesco.org
4.5 Urban ecotourism
Urban ecotourism merupakan konsep pariwisata perkotaan yang berwawasan lingkungan. Konferensi Internasional tentang Urban Ecotourism pada tahun 2004 menghasilkan deklarasi tentang urban ecotourism. Isi deklarasi tersebut menyatakan bahwa urban ecotourism dikembangkan untuk tujuan:
·         Memulihkan dan mengkonservasi warisan alam dan budaya, termasuk lanskap alam dan keanekaragaman hayati dan juga budaya asli.
·         Memaksimalkan manfaat lokal dan melibatkan masyarakat kota sebagai pemilik, investor, tamu, dan pemandu.
·         Memberikan pembelajaran kepada pengunjung dan penduduk tentang lingkungan, sumber daya heritage, serta keberlanjutan.
·         Mengurangi jejak ekologis.
Urban ecotourism sudah berkembang di Amerika (Bicycle City dan Kenya-Taman Nasional).
DAFTAR PUSTAKA
Ashworth G.J. dan Tunbridge, J.E. (1990): The Tourist-Historic City , John Wiley&Sons, England.
Inskeep, Edward, (1991): Tourism Planning- An Integrated Sustainable Approach, Van Nostrand Reinhold, New York.
Law, Christopher M. (1996): Tourism in Major Cities, International Thomson Business Press, London.
Page, Stephen, (1995): Urban Tourism, Routledge, London.

Richard, Greg dan Wilson, Julie (2007): Tourism, Creativity, and Development, Routledge, Oxon.

Page, Stephen J. dan Hall, Michael C., (2003). Managing Urban Tourism, Pearson Education Limited, Harlow.