Yani Adriani
Perjalanan membangun taman bumi,
atau lebih dikenal dengan geopark, di
Indonesia sudah hampir sembilan tahun, dimulai pada tahun 2007 ketika
Masyarakat Pemerhati Geowisata (MAPEGI) mengadakan pertemuan di Bandung, dan
menyepakati akan mulai mengembangkan geopark di Indonesia (Rachmat, 2015).
Kini, Indonesia telah memiliki enam geopark.
Dua taman bumi sudah menjadi bagian dari Global Geopark Networks UNESCO, yaitu Geopark
Batur yang mendapatkan statusnya pada tahun 2012, menyusul Geopark Gunung Sewu
yang baru pada tahun 2015 lalu meraihnya. Empat geopark lainnya baru diakui sebagai geopark nasional, yaitu Geopark Kaldera Toba, Geopark
Rinjani-Lombok, Geopark Merangin, dan Geopark Ciletuh.
GEOPARK
DAN GEOWISATA
Geopark sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan berkelanjutan yang
diterapkan pada wilayah yang di dalamnya terdapat geoheritage bernilai penting secara internasional (Robinson, 2015).
Karena merupakan konsep pembangunan berkelanjutan, status Geopark Dunia atau
Geopark Nasional bukan merupakan akhir perjalanan, justru awal perjuangan untuk
mewujudkan pembangunan yang tidak hanya memberikan perlindungan terhadap sumber
daya alam dan budaya, tetapi juga kesejahteraan kepada masyarakat lokal. ‘Menghidupkan’
geopark merupakan PR besar yang harus
dijawab bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pihak industri, dan bahkan
masyarakat setempat.
Geowisata merupakan inovasi
produk pariwisata yang sudah teruji menghidupkan geopark di negara-negara dunia, sekaligus meningkatkan perekonomian
daerah dan masyarakat. Geowisata mulai dibicarakan pada tahun 1956,
pencetusnya adalah Michele Gortani,
geologis Italia yang mengatakan bahwa dalam pikiran para geologis, lanskap itu
hidup dan berbicara pada mereka (Ngwira, 2015). Geowisata
merupakan suatu bentuk pariwisata yang secara khusus memfokuskan pada ‘cerita’ geologi
dan lanskap yang membentuk karakter suatu wilayah.
Geowisata membantu wisatawan
meningkatkan pengetahuan tentang sumber daya alam dan geologi, serta identitas
budaya lokal dan langkah-langkah untuk melestarikannya. Geowisata mendorong
pengembangan produk-produk lokal dan melibatkan masyarakat dalam
strategi-strategi inovatif dan geomarketing.
Di negara-negara geopark dunia, telah banyak berkembang jalur-jalur geowisata (geotrails), geomuseum, geosport,
bahkan georestaurant dan geobakeries, sebagai bentuk inovasi dari
pengembangan geowisata dan geoproduk (Farsani dkk, 2010). Dengan mengembangkan
geowisata, geopark memiliki peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan,
mengembangkan kegiatan ekonomi baru, dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan
daerah.
LANGKAH
AWAL MENGGIATKAN GEOWISATA DI GEOPARK
Pengembangan geowisata di geopark
Indonesia, khususnya, masih berada pada tahap awal, dan belum memberikan nilai
ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Perlu upaya yang lebih inovatif dengan
mengedepankan keterlibatan masyarakat agar dapat memberikan manfaat langsung
kepada masyarakat sekaligus meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan dan
upaya konservasi.
Sejak tahun 2015, Kementerian
Pariwisata mendorong perkembangan geowisata yang lebih inovatif melalui jalur
geowisata tematik. Sebagai pilot,
dimulai dari Geopark Rinjani-Lombok (NTB) dan Geopark Ciletuh (Jawa Barat). Pengembangan
jalur geowisata tematik dilakukan bersama seluruh pihak, termasuk masyarakat,
dimulai dari menggali potensi geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya,
sampai pada perencanaan interpretasi dan pelatihan interpretasi bagi para
pemandu wisata dan pihak terkait.
Geopark Rinjani-Lombok mengembangkan
empat jalur geowisata yang akan menjadi tema pengembangan produk pariwisatanya,
yaitu a) Jejak Gunung Api Purba di Pesisir Barat Pulau Lombok; b) Jejak Gunung
Api Purba di Lembah Sembalun; c) Gunung Api Termuda Rinjani; d) Lanskap Budaya
Rinjani. Geopark Ciletuh juga telah menyusun jalur geowisata dengan lima tema
pengembangan produk pariwisata: a) Menyusuri Curug, Surganya Pajampangan; b)
Puncak Tertinggi Girimukti; c) Gemerlapnya Bebatuan Mandrajaya; d) Hamparan
Bebatuan Ter-Hade di Surade; e) Jejak Fosil Tektonik di Ciletuh.
Tema-tema geowisata ini menjadi
pemadu dan penyelaras pengembangan produk pariwisata di geopark. Melalui tema
ini, pengembangan tiga pilar produk pariwisata: atraksi (daya tarik wisata
geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya), amenitas (fasilitas pariwisata,
fasilitas umum, prasarana umum), dan aksesibilitas, diarahkan untuk membangun
suasana dan geoproduk yang sesuai dengan tema.
Pengembangan jalur geowisata tematik di dua geopark diharapkan dapat
diikuti oleh keempat geopark lainnya, terutama geopark yang sudah menjadi
anggota Global Geopark Networks (GGN), sebagai bentuk inovasi dalam menarik
kunjungan wisatawan yang lebih berkualitas, tidak hanya jumlah yang besar,
tetapi juga manfaat yang besar bagi perekonomian dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA:
Farsani, N.T., Celeste C., dan Carlos C. (2010). Geotourism and
Geoparks as Novel Strategies for Socio-economic Development in Rural Areas. International Journal of Tourism Research.
Published online in Wiley Inter Science (www.interscience.wiley.com).
Ngwira,
P.M. (2015). Geotourism and Geoparks; Africa’s Current Prospects for
Sustainable Rural Development and Poverty Alleviation. Dalam From Geoheritage to Geoparks: Case Studies
from Africa and Beyond. Switzerland:
Springer International Publishing.
Rachmat,
Heryadi (2015). Pemanfaatan Geodiversity untuk Pengembangan Geowisata dan Geopark (Studi Kasus: Gunung Kelimutu Flores Nusa Tenggara
Timur). http://geopark-lusi.blogspot.co.id/ 2015/09/heryadi-pemanfaatan-geodiversity-untuk.html,
diakses tanggal 26 Maret 2016.
Robinson,
Angus M. (2015). Geotourism, Geoparks and Geotrails: A Tourism Development Opportunity
for Australia.
http://www.leisuresolutions.com.au/index.php/geotourism-industry-groups/,
diunduh tanggal 26 Maret 2016.
Bandung, 26 Maret 2016
Tulisan ini saya ramu dari bahan-bahan yang tidak jadi
digunakan dalam artikel yang disiapkan untuk Gatra edisi Maret 2016. Semoga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar